Sahabat Baik dan Komitmen Keilmuan

Juli 07, 2025


Naskah pengukuhan

Ngainun Naim


Pertama-tama saya menyampaikan selamat kepada Prof. Dr. Mohammad Muslih, M.Ag atas turunnya SK Guru Besar. Sekarang saya dan semuanya sah memanggil beliau Prof. Muslih. Bukan lagi panggilan yang selama ini biasa saya gunakan, yaitu Pak Muslih.

Menjadi guru besar adalah cita-cita yang harus dimiliki oleh setiap dosen. Jangan sampai ada dosen yang tidak memiliki cita-cita menjadi guru besar. Saya kira wajib hukumnya memiliki cita-cita. Soal tercapai atau tidak itu soal lain.

Memang jabatan akademik tertinggi ini tidak mudah diraih. Jalannya panjang dan berliku. Ada yang sukses, namun banyak juga yang gagal.

Meskipun tidak semua menempuh jalan panjang dan berliku, saya kira sebagian besar setuju bahwa meraih jabatan akademik itu tidak mudah. Mereka yang cepat meraihnya, pasti usahanya luar biasa. Mereka yang lama meraihnya usahanya juga luar biasa. Sama saja. Sama-sama membutuhkan usaha ekstra.

Ada yang SK Guru Besar bisa turun dalam hitungan bulan sejak pengajuan. Namun ada juga yang harus bertahun-tahun bolak-balik melengkapi kekurangan. Ada juga yang pada akhirnya SK tidak turun karena satu dan lain hal.

Karena itu saya sangat bahagia mendapatkan informasi tentang turunnya SK Guru Besar Pak Muslih. Kepastian informasi ini saya dapatkan dari M. Thoriqul Islam, mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Tanggal 24 Desember 2024 beliau mengirim flyer tentang ucapan selamat atas turunnya SK Prof. Muslih.

Sebenarnya beberapa bulan sebelumnya saya sudah mendapatkan bocoran terkait informasi ini. Tanggal 30 Juli 2024 Pak Muslih bersama beberapa dosen Universitas Darussalam Gontor Ponorogo berkunjung ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang menjadi tempat saya bekerja. Tujuan kunjungan adalah berdiskusi tentang pengabdian kepada masyarakat.

Di sela perbincangan Pak Muslih menyampaikan informasi bahwa beliau sedang mengajukan usulan guru besar. Beliau minta doa agar usulannya lancar dan SK segera turun. Tentu sebagai teman saya mendoakan sepenuh hati agar usulan beliau lancar dan SK guru besar segera turun.

Alhamdulillah perjuangan panjang Pak Muslih membuahkan hasil. Kini beliau sah menambahkan Prof. di depan namanya.

 

Foto bersama 

Teman Kuliah S3

Tahun 2007 saya ikut tes S3 beasiswa di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kuota yang tersedia 8 orang. Jumlah yang cukup terbatas sementara peminat cukup banyak.

Saya ikut tes bersama beberapa kawan dari STAIN Tulungagung. Walhasil saya gagal. Demikian juga dengan beberapa kawan lainnya.

Saya pun melakukan evaluasi diri. Beberapa jawaban tes tulis tampaknya memang kurang tepat. Kondisinya semakin parah ditambah dengan jawaban tes lisan. Jadi wajar jika saya tidak masuk dalam kuota beasiswa.

Sebenarnya ada peluang lanjut studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namun saya belum mengambil keputusan. Saya harus berdiskusi dengan istri.

Saat itu anak saya masih satu usia tiga tahun. Saya masih tiga tahun menjadi dosen. Ekonomi keluarga belum tertata.

Saya sampaikan kepada istri kondisi yang ada. Juga berbagai kemungkinan, termasuk kuliah S3. Jika saya kuliah, tentu tidak mudah dari sisi ekonomi jika tanpa beasiswa.

Tahun 2007 belum banyak skema beasiswa sebagaimana sekarang ini. Tawaran yang ada terbatas dengan persaingan yang ketat. Jika tidak memiliki kemampuan lebih besar kemungkinan tersingkir dari kompetisi.

Cukup lama saya dan istri mempertimbangkan segala sesuatunya. Pertimbangan dari berbagai aspek penting kami lakukan agar semuanya berjalan lancar. Jangan sampai ada yang terganggu, baik kuliah–jika memutuskan kuliah–maupun kehidupan rumah tangga.

Pada akhirnya keputusan saya ambil. Bismillah saya daftar S3 biaya mandiri di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan. Di antaranya adalah iklim akademik Yogyakarta yang cukup subur. Selain, tentu saja, biaya hidup yang terjangkau.

Singkat cerita saya lolos seleksi dan masuk menjadi mahasiswa S3 Studi Islam angkatan 2007.  Di sinilah saya memiliki beberapa kawan sekelas. Salah satunya adalah Prof. Muslih.

Prof. Muslih menyelesaikan magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jadi beliau sudah memiliki pengalaman cukup lumayan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sementara saya adalah orang baru. Jadi harus banyak belajar dan beradaptasi.

Di kelas kami ada beberapa kawan lain yang sebelumnya sudah studi di Yogyakarta. Zaprulkan yang sekarang dosen  IAIN Bangka Belitung menyelesaikan S2 di UIN Yogyakarta. Dr. Zainul Abas, Wakil Rektor 1 UIN Raden Mas Said Surakarta menyelesaikan S1 dan S2 di UIN Yogyakarta. Kiai Wasid Akhadi, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyelesaikan S1 dan S2 di UIN Yogyakarta. Muh. Muhibuddin–Wakil Ketua Pengadilan Agama Purbalingga–juga alumni S1 dan S2 UIN Yogyakarta. Syahrul Nizar Saragih–Dosen Unimed Medan–menyelesaikan S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 di Universitas Gadjah Mada.

Memang bukan hanya saya yang bukan alumni—S1 atau S2—UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tetapi lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melanjutkan S3 di kampus tempat studi jenjang sebelumnya jelas memiliki nilai lebih tersendiri. Kepada mereka, termasuk kepada Prof. Muslih, saya banyak belajar.

Menurut saya, Prof. Muslih adalah salah seorang teman yang cukup matang secara akademik. Wawasannya mendalam. Bacaannya cukup kuat. Ini bisa dicermati pada bagaimana beliau berdiskusi di kelas.

Saya sering mengamati bagaimana beliau menyusun kata, membangun argumen, dan memberikan komentar atas makalah yang sedang disajikan oleh kawan yang mendapatkan giliran presentasi. Rapi, terstruktur, dan sistematis. Ini menunjukkan kematangan akademik yang terbangun secara kokoh.

Tulisan Prof. Muslih sangat rapi. Menurut saya, tulisan beliau adalah cerminan lisan beliau. Keduanya saling mendukung.

Pilihan jenis huruf pun sangat khas, yaitu Goudy Old Style. Jenis huruf ini dipergunakan nyaris di semua tugas beliau.

 


Penulis Prolifik

Saat mulai kuliah S3, saya belum memiliki satu buku pun yang terbit. Motivasi kuliah ke Yogyakarta saat itu juga—antara lain—ingin bisa menulis dan menerbitkan buku. Itu cita-cita lama yang tidak tahu bagaimana mewujudkannya.

Begitu mulai masuk kuliah dan berkenalan dengan teman sekelas, saya menciut. Beberapa kawan ternyata sudah memiliki buku yang terbit.

Sarbini—kini dosen UIN Raden Mas Said Surakarta—memiliki buku dengan judul Islam di Tepian Revolusi [Yogyakarta: Pilar, 2005]. Zaprulkhan sudah memiliki buku dengan judul Renungan-Renungan Ramadan [Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2023] dan Kisah-Kisah Penuh Hikmah [Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006].

Pak Muslih demikian juga. Buku beliau, Religious Studies [Yogyakarta: Belukar, 2003] dan Filsafat Ilmu [Yogyakarta: Belukar, 2004] menjadi penanda produktivitas beliau dalam berkarya.

Sejak kuliah sampai sekarang Prof. Muslih terus produktif berkarya. Buku demi buku terbit. Nyaris tidak ada tahun tanpa buku baru.

Demikian juga artikel demi artikel telah beliau hasilkan. Jumlahnya sangat banyak. Ada yang di jurnal terindeks Sinta. Ada juga yang terindeks Scopus.

Produktivitas Prof. Muslih dalam menghasilkan karya tidak main-main. Di atas rata-rata dosen pada umumnya. Gelar guru besar yang sekarang beliau raih bukan hal mengejutkan. Jauh hari sebelum gelar itu resmi disandang, menurut saya, beliau adalah the real profesor. SK Gubes merupakan peneguhan atas kapasitas beliau.

Satu hal yang penting diteladani dari beliau adalah konsistensi keilmuan. Sejak menjadi dosen beliau menekuni filsafat ilmu. Konsistensi ini terus dijaga sampai sekarang. Hal ini diperkokoh dengan SK Guru Besar Filsafat Ilmu.

 

Sahabat Baik

Sejak kuliah sampai sekarang Prof. Muslih selalu menjadi sahabat baik. Sikapnya ramah. Tidak berubah sama sekali sejak pertama kenal sampai sekarang.

Suatu ketika di bulan Desember 2021 saya menulis di facebook. Isinya saya bercerita sedang ngopi di selatan IAIN Ponorogo. Tidak lama Prof. Muslih berkomentar, “Kok tidak mampir”.

Sapaan hangat dalam beberapa kali perjumpaan menjadi hal yang selalu lekat dalam diri Prof. Muslih. Beliau adalah sahabat baik. Meskipun intensitas pertemuan cukup jarang tetapi kehangatan persahabatan tidak lekang.

Sebagai sahabat saya, sekali lagi, menyampaikan selamat atas capaian Guru Besar Prof. Muslih. Semoga berkah dan terus menebarkan energi keilmuan. Salam.

 

Trenggalek, 11 Januari 2025

2 komentar:

  1. Senang dan bahagia bila memiliki sahabat baik, karena yang namanya sahabat baik itu jumlahnya tidak banyak. Konon bila sahabat baik sejumlah jari sebelah tangan saja itu sudah dikatakan banyak.
    Selamat untuk Prof. Muslih, dan selamat juga untuk persahabatan bapak berdua.

    Salam,

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.