Sahabat Baik dan Komitmen Keilmuan
Ngainun Naim
Pertama-tama
saya menyampaikan selamat kepada Prof. Dr. Mohammad Muslih, M.Ag atas turunnya
SK Guru Besar. Sekarang saya dan semuanya sah memanggil beliau Prof. Muslih.
Bukan lagi panggilan yang selama ini biasa
saya
gunakan, yaitu Pak Muslih.
Menjadi
guru besar adalah cita-cita yang harus dimiliki oleh setiap dosen. Jangan sampai ada dosen yang tidak memiliki cita-cita
menjadi guru besar. Saya kira wajib hukumnya memiliki cita-cita. Soal tercapai
atau tidak itu soal lain.
Memang jabatan
akademik tertinggi ini tidak mudah diraih. Jalannya panjang dan berliku. Ada yang sukses, namun banyak juga yang gagal.
Meskipun
tidak semua menempuh jalan panjang dan berliku, saya kira sebagian besar setuju
bahwa meraih jabatan akademik itu tidak mudah. Mereka yang cepat meraihnya,
pasti usahanya luar biasa. Mereka yang lama meraihnya usahanya juga luar biasa.
Sama saja. Sama-sama membutuhkan
usaha ekstra.
Ada
yang SK Guru Besar bisa
turun dalam hitungan bulan sejak pengajuan. Namun ada juga yang harus
bertahun-tahun bolak-balik melengkapi kekurangan. Ada juga yang pada akhirnya
SK tidak turun karena satu dan lain hal.
Karena
itu saya sangat bahagia mendapatkan informasi tentang turunnya SK Guru Besar
Pak Muslih. Kepastian informasi ini saya dapatkan dari M. Thoriqul Islam,
mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Tanggal 24
Desember 2024 beliau mengirim flyer tentang ucapan selamat atas turunnya SK
Prof. Muslih.
Sebenarnya
beberapa bulan sebelumnya saya sudah mendapatkan bocoran terkait informasi ini.
Tanggal 30 Juli 2024 Pak Muslih bersama beberapa dosen Universitas Darussalam
Gontor Ponorogo berkunjung ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang menjadi tempat saya bekerja. Tujuan
kunjungan adalah berdiskusi tentang pengabdian kepada masyarakat.
Di
sela perbincangan Pak Muslih menyampaikan informasi bahwa beliau sedang
mengajukan usulan guru besar. Beliau minta doa agar usulannya lancar dan SK
segera turun. Tentu sebagai teman saya mendoakan sepenuh hati agar usulan
beliau lancar dan SK guru besar segera turun.
Alhamdulillah
perjuangan panjang Pak Muslih membuahkan hasil. Kini beliau sah menambahkan
Prof. di depan namanya.
Teman Kuliah S3
Tahun
2007 saya ikut tes S3 beasiswa di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kuota yang
tersedia 8 orang. Jumlah yang cukup terbatas sementara peminat cukup banyak.
Saya
ikut tes bersama beberapa kawan dari STAIN Tulungagung. Walhasil saya gagal. Demikian juga dengan beberapa kawan lainnya.
Saya
pun melakukan evaluasi
diri. Beberapa jawaban tes tulis tampaknya memang kurang tepat. Kondisinya
semakin parah ditambah dengan jawaban tes lisan. Jadi wajar jika saya tidak
masuk dalam kuota beasiswa.
Sebenarnya
ada peluang lanjut studi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namun saya belum
mengambil keputusan. Saya harus berdiskusi dengan istri.
Saat
itu anak saya masih satu usia tiga tahun. Saya masih tiga tahun menjadi dosen.
Ekonomi keluarga belum tertata.
Saya
sampaikan kepada istri kondisi yang ada. Juga berbagai kemungkinan, termasuk
kuliah S3. Jika saya kuliah, tentu tidak mudah dari sisi ekonomi jika tanpa
beasiswa.
Tahun
2007 belum banyak skema beasiswa
sebagaimana sekarang ini. Tawaran yang ada terbatas
dengan persaingan yang ketat. Jika tidak memiliki kemampuan lebih besar
kemungkinan tersingkir dari kompetisi.
Cukup
lama saya dan istri mempertimbangkan segala sesuatunya. Pertimbangan dari
berbagai aspek penting kami lakukan agar semuanya berjalan lancar. Jangan
sampai ada yang terganggu, baik kuliah–jika memutuskan kuliah–maupun kehidupan
rumah tangga.
Pada
akhirnya keputusan saya ambil. Bismillah saya daftar S3 biaya mandiri di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan.
Di antaranya adalah iklim
akademik Yogyakarta yang cukup subur. Selain, tentu saja, biaya hidup yang
terjangkau.
Singkat
cerita saya lolos seleksi dan masuk menjadi mahasiswa S3 Studi Islam angkatan
2007. Di sinilah saya memiliki beberapa
kawan sekelas. Salah satunya adalah Prof. Muslih.
Prof.
Muslih menyelesaikan magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jadi beliau
sudah memiliki pengalaman cukup lumayan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sementara saya adalah orang baru. Jadi harus banyak belajar dan beradaptasi.
Di
kelas kami ada beberapa kawan lain yang
sebelumnya sudah studi di Yogyakarta. Zaprulkan yang sekarang dosen IAIN Bangka Belitung menyelesaikan S2 di UIN
Yogyakarta. Dr. Zainul Abas, Wakil Rektor 1 UIN Raden Mas Said Surakarta
menyelesaikan S1 dan S2 di UIN Yogyakarta. Kiai Wasid Akhadi, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyelesaikan
S1 dan S2 di UIN Yogyakarta. Muh. Muhibuddin–Wakil Ketua Pengadilan Agama
Purbalingga–juga alumni S1 dan S2 UIN Yogyakarta. Syahrul Nizar Saragih–Dosen
Unimed Medan–menyelesaikan S1 di UIN Sunan Kalijaga dan S2 di Universitas
Gadjah Mada.
Memang
bukan hanya saya yang bukan alumni—S1
atau S2—UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Tetapi lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
melanjutkan S3 di kampus tempat studi jenjang sebelumnya jelas memiliki nilai
lebih tersendiri. Kepada mereka, termasuk kepada Prof. Muslih, saya banyak
belajar.
Menurut
saya, Prof. Muslih adalah salah seorang teman yang cukup matang secara
akademik. Wawasannya mendalam. Bacaannya cukup kuat. Ini bisa dicermati pada bagaimana
beliau berdiskusi di kelas.
Saya
sering mengamati bagaimana beliau menyusun kata, membangun argumen, dan
memberikan komentar atas makalah yang sedang disajikan oleh kawan yang mendapatkan giliran presentasi.
Rapi, terstruktur, dan sistematis. Ini menunjukkan kematangan akademik yang
terbangun secara kokoh.
Tulisan
Prof. Muslih sangat rapi. Menurut saya, tulisan beliau adalah cerminan lisan
beliau. Keduanya saling mendukung.
Pilihan
jenis huruf pun sangat khas, yaitu Goudy Old Style. Jenis huruf ini
dipergunakan nyaris di semua tugas beliau.
Penulis Prolifik
Saat
mulai kuliah S3, saya
belum memiliki satu buku pun yang terbit. Motivasi kuliah ke Yogyakarta saat
itu juga—antara lain—ingin bisa menulis dan menerbitkan
buku. Itu cita-cita lama yang tidak tahu bagaimana mewujudkannya.
Begitu
mulai masuk kuliah dan berkenalan dengan teman sekelas, saya menciut. Beberapa
kawan ternyata sudah memiliki buku yang terbit.
Sarbini—kini dosen UIN Raden Mas Said Surakarta—memiliki buku dengan judul Islam di
Tepian Revolusi [Yogyakarta: Pilar, 2005]. Zaprulkhan sudah memiliki
buku dengan judul Renungan-Renungan
Ramadan [Yogyakarta: Global
Pustaka Utama, 2023] dan Kisah-Kisah Penuh Hikmah [Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2006].
Pak
Muslih demikian juga. Buku beliau, Religious Studies [Yogyakarta: Belukar, 2003] dan Filsafat
Ilmu [Yogyakarta: Belukar, 2004] menjadi
penanda produktivitas beliau dalam berkarya.
Sejak
kuliah sampai sekarang Prof. Muslih terus produktif berkarya. Buku demi buku
terbit. Nyaris tidak ada tahun tanpa buku baru.
Demikian
juga artikel demi artikel telah beliau hasilkan. Jumlahnya sangat banyak. Ada
yang di jurnal terindeks Sinta. Ada juga yang terindeks Scopus.
Produktivitas
Prof. Muslih dalam menghasilkan karya tidak main-main. Di atas rata-rata dosen
pada umumnya. Gelar guru besar yang sekarang beliau raih bukan hal mengejutkan.
Jauh hari sebelum gelar itu resmi disandang, menurut saya, beliau adalah the
real profesor. SK Gubes merupakan peneguhan atas kapasitas beliau.
Satu
hal yang penting diteladani dari beliau adalah konsistensi keilmuan. Sejak
menjadi dosen beliau menekuni filsafat ilmu. Konsistensi ini terus dijaga
sampai sekarang. Hal ini diperkokoh dengan SK Guru Besar Filsafat Ilmu.
Sahabat Baik
Sejak
kuliah sampai sekarang Prof. Muslih selalu menjadi sahabat baik. Sikapnya
ramah. Tidak berubah sama sekali sejak pertama kenal sampai sekarang.
Suatu
ketika di bulan Desember 2021 saya menulis di facebook. Isinya saya bercerita
sedang ngopi di selatan IAIN Ponorogo. Tidak lama Prof. Muslih berkomentar,
“Kok tidak mampir”.
Sapaan
hangat dalam beberapa kali perjumpaan menjadi hal yang selalu lekat dalam diri
Prof. Muslih. Beliau adalah sahabat baik. Meskipun intensitas pertemuan cukup
jarang tetapi kehangatan persahabatan
tidak lekang.
Sebagai sahabat saya, sekali lagi,
menyampaikan selamat atas capaian Guru Besar Prof. Muslih. Semoga berkah dan
terus menebarkan energi keilmuan. Salam.
Trenggalek, 11 Januari 2025
Senang dan bahagia bila memiliki sahabat baik, karena yang namanya sahabat baik itu jumlahnya tidak banyak. Konon bila sahabat baik sejumlah jari sebelah tangan saja itu sudah dikatakan banyak.
BalasHapusSelamat untuk Prof. Muslih, dan selamat juga untuk persahabatan bapak berdua.
Salam,
Terima kasih Abah
Hapus