Mengunjungi Klepu, Sekadar Ingin Tahu
Pertigaan menuju Desa Klepu dari arah Trenggalek
Ngainun Naim
Nama Klepu sudah lama saya dengar. Awalnya adalah sebuah
tesis dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003) yang ditulis oleh Imam Maksum
dengan judul “Kerukunan Antar Umat Beragama Islam dan Katolik di Desa Klepu
Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo”. Tesis ini menarik namun saya belum
membaca secara tuntas.
Belakangan saya membaca laporan hasil penelitian yang
ditulis oleh tim peneliti IAIN Ponorogo yang diketuai oleh Lutfi Hadi Aminuddin
dengan judul “Pluralitas Orientasi Ideologi Muslim Klepu Sooko Ponorogo”
(2020). Penelitian ini saya baca lebih intensif. Ada banyak informasi dan
pengetahuan baru terkait topik.
Setelah saya lacak ternyata sudah sangat banyak riset
tentang desa multikultural ini. Saya ingin menyebut dua saja, yaitu Unun Roudlotul Jannah
dan Muchtim Humaidi yang menulis artikel dengan fokus pada filantropi (2020)
dan Aziz Muslim menyampaikan pidato guru besar di UIN Sunan Kalijaga dengan judul
“Forum Masjid dan Kesejahteraan Masyarakat: Analisis Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat di Klepu Sooko Ponorogo” (2024).
Sesungguhnya
ada sangat banyak riset dengan fokus yang berbeda-beda namun objeknya sama,
yaitu Desa Klepu. Bagi saya, ini fenomena menarik. Saya belum memiliki bayangan
untuk meneliti di Klepu. Namun satu hal yang saya kira menarik adalah
mengetahui lokasi desa itu.
Desa ini
seperti magnet riset. Ada banyak topik yang menjadikan desa ini sebagai lokasi
penelitian.
Ditinjau
dari sisi lokasi, saya berasumsi lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Saya katakan asumsi karena saya memang belum
pernah mengunjungi desa tersebut. Jadi saya mencoba mengeceknya di internet
untuk memastikan posisinya.
Namun
asumsi saja tentu tidak memberikan informasi memadai. Membaca laporan demi laporan
atau tulisan demi tulisan tentang desa ini memang bermanfaat. Namun akan lebih
jelas jika berkunjung langsung ke lokasi.
Minggu
tanggal 20 April 2025 saya memutuskan untuk mengunjungi Klepu. Sekadar kepengin
tahu saja. Tidak ada tujuan spesifik. Jadi semata-mata jalan-jalan.
Saya
meninggalkan rumah pukul 13.48 WIB. Saya menyusuri
jalanan menuju Kota Trenggalek. Dari perempatan utara Alun-Alun Trenggalek,
saya belok ke arah utara menuju Kecamatan Bendungan. Sekitar lima menit,
jalanan mulai menanjak.
Jika boleh
dikatakan, perjalanan kali ini sebagai perjalanan di daerah pegunungan. Daerah
datarnya hanya sekitar lima menit. Selebihnya adalah pegunungan dengan deretan
hutan yang sejuk.
Begitu naik
perbukitan, saya sampai di lokasi bendungan Bagong. Perjalanan terus
berlanjut sampai Kecamatan Bendungan Trenggalek. Di pertigaan ada petunjuk jika
ke arah barat menuju Ponorogo dan ke arah timur menuju Tulungagung. Tentu saja
saya mengambil arah menuju Ponorogo.
Saya
menyusuri jalanan aspal yang semakin lama semakin sepi. Jalanan yang awalnya
mulus berganti rusak di perbatasan Trenggalek Ponorogo. Meskipun demikian saya
terus saja memacu sepeda motor.
Sama sekali
tidak ada informasi yang saya miliki selain bermodalkan GoogleMap. Aplikasi ini
lumayan membantu, meskipun tidak selalu valid.
Akhirnya
saya sampai juga di desa Klepu. Desa yang secara fisik tidak banyak berbeda dengan
desa-desa lain yang pernah saya kunjungi. Namun secara sosiologis,
antropologis, dan historis memiliki banyak khazanah yang tampaknya akan terus
menjadi mutiara bagi dunia penelitian.
Tulungagung,
20 Juni 2025
Kaget saya membaca ini Pak, soalnya disebut nama Sooko pada tulisan ini.
BalasHapusCeritanya begini Pak. Besan perempuan saya adalah orang Sooko. Ia beragama Islam, tapi bapak dan ibunya beragama Katolik. Jadi saudara/i besan saya ada yang Islam ada juga yang Katolik.
Beberapa saat lalu kami sekeluarga ke Sooko, menginap beberapa malam. Cucu saya dirayakan dengan semacam upacara yaitu dengan Tedhak Siten.
Seandainya pada tulisan ini tidak menuliskan nama Sooko, saya tak akan mengingat keluarga besan perempuan saya itu, karena tak pernah disebut nama Klepu ketika disana.
Salam,