Tulisan dan Teladan
Ngainun Naim
Ada sebuah pendapat
menarik dari Mitsuo Nakamura dalam buku terbarunya, Mengamati Islam di
Indonesia 1971-2023 (Jakarta: YOI, 2025, 370) yang menjelaskan bahwa Islam
di Indonesia sangat unik. Keunikannya terlihat—antara lain—pada interaksi Islam
dan budaya. Banyak orang luar yang tidak memahami dengan baik terhadap fenomena
ini.
Jika berhadapan
dengan realitas unik semacam ini maka Nakamura menyarankan untuk tidak
mengambil kesimpulan sendiri. Bisa jadi kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat.
Cara terbaiknya adalah berkonsultasi kepada kiai. Hal ini yang juga dilakukan
oleh umat Islam Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan.
Kiai bukan sekadar
ahli dalam agama Islam tetapi juga rujukan masyarakat. Aneka persoalan dalam
kehidupan masyarakat dikonsultasikan kepada kiai untuk memperoleh jawaban.
Meskipun sekarang media sosial menyediakan aneka pilihan konsultasi, tetapi
konsultasi secara langsung terhadap kiai masih tetap dilakukan oleh masyarakat.
Meskipun intensitasnya berbeda dengan masa ketika media sosial belum ada.
Peran besar kiai
dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia sudah diakui oleh para ahli,
peneliti, dan masyarakat umum. Peneliti asal Jepang Hiroko Horikoshi
menjelaskan bahwa kiai memiliki peranan penting sebagai penjaga moral,
pemimpinan sosial, dan tentu sebagai pemimpin keagamaan. Peranan yang melekat
dalam diri kiai menjadi modal untuk memandu transformasi masyarakat (Kyai
dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987).
Riset yang dilakukan
oleh Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar
di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2013, 143 menyebutkan bahwa kiai memiliki modal
sosial yang membuatnya memiliki posisi kuat di masyarakat. Identifikasi yang
dilakukannya menyebutkan bahwa modal sosial tersebut adalah kekayaan, hubungan
kekerabatan, ketenaran, dan kualitas pribadi.
Modal sosial keempat,
kualitas pribadi, itu istimewa. Ia melampaui orang pada umumnya. Karena itu ia
menjadi teladan di mana tidak banyak orang yang memiliki kualitas pribadi
semacam itu.
Teladan itu untuk
ditiru. Bukan sekadar dilihat, dikagumi,
dan dibicarakan.
Persoalannya, teladan
tidak selalu terdokumentasikan. Padahal teladan itu tentatif. Ganti generasi,
teladan hilang jika tidak diceritakan. Makin jauh generasi ditinggalkan, makin
hilang teladan dari kehidupan.
Teladan itu penting
untuk ditulis. Tidak hanya sebagai dokumen tetapi sebagai energi sumber
transformasi. Tulisan tentang kiai dan keteladanan adalah model yang bisa
menggerakkan untuk perilaku dalam kebajikan.
Kata Pengantar
Awal tahun 2025 saya
dihubungi oleh Gus Nurul Fahmi, Ketua LTN NU Tuban. Intinya beliau meminta saya
membuat kata pengantar untuk buku dengan judul Jejak Keteladanan, Profil 25
Kiai NU Tuban. Bagi saya ini merupakan sebuah kehormatan. Maka, di tengah
agenda aktivitas yang lumayan padat, saya pun membuat kata pengantar. Beberapa pokok
pikiran dari kata pengantar saya lampirkan di sini.
Satu dimensi penting—namun kurang mendapatkan perhatian—dari
perjalanan bangsa ini adalah literasi. Tradisi literasi sesungguhnya menjadi bagian
yang mempengaruhi konstruksi bangsa ini sejak awal didirikan. Para tokoh bangsa
di masa awal adalah para pembaca buku yang tangguh (Kurnia: 2016, 43). Mereka
bukan hanya pejuang yang mendayagunakan fisiknya tetapi juga menggunakan
akalnya untuk memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemajuan bangsa.
Bung Hatta, Bung Karno, KH. Abdul Wahid Hasyim, dan para
tokoh bangsa lainnya adalah pejuang dan pembaca buku yang gigih. Di tengah
perjuangan panjang yang melelahkan, buku dan membaca adalah aktivitas yang
tidak bisa dipisahkan. Fisik dan intelektual terus diasah tanpa jeda.
Para tokoh bangsa berasal dari berbagai latar belakang. Tidak
hanya dari kalangan nasionalis saja. Ada juga dari kalangan agamawan atau kiai.
Salah satunya adakah KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda KH. Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur.
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah tokoh penting perjalanan
bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan sampai beliau wafat pada 19 April 1953.
Beliau kiai yang memiliki keunikan karena memiliki keberanian untuk mendobrak
tradisi yang telah mapan. Banyak peneliti yang menyebut beliau sebagai pembaru
pendidikan Islam karena gagasan dan kebijakannya.
Tentu ada banyak faktor yang menjadi latar belakang
mengapa dan bagaimana beliau memiliki pemikiran progresif. Salah satunya karena
kuatnya tradisi membaca. Zaini (2011: 14) menjelaskan bahwa Kiai Wahid Hasyim
adalah seorang kutu buku. Beliau mengisi hari-harinya dengan membaca secara
tekun. Tidak hanya kitab kuning tetapi juga buku-buku dari beragam bahasa.
Salah satu perpustakaan di Surabaya menjadi langganan beliau dalam memenuhi
dahaga ilmu pengetahuan. Kuatnya tradisi membaca membuat beliau harus
berkacamata di usia yang masih muda.
Kiai Wahid Hasyim merupakan contoh tentang bagaimana
menjalankan tugas pokoknya sebagai pengajar agama Islam dan juga melakukan
aktivitas dalam kerangka transformasi sosial. Selain beliau, ada sangat banyak
kiai yang menjadi role model bagi masyarakat. Pikiran, ucapan, dan
tindakannya menjadi referensi bagi masyarakat dalam maknanya yang luas.
Sejalan dengan perspektif ini adalah pendapat KH. Husein
Muhaammad (2019: 29) yang menjelaskan bahwa kiai merupakan unsur terpenting di
pondok pesantren. Kiai menjadi rujukan utama seluruh dimensi pesantren. Kiai,
karena itu, memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi dalam maknanya yang
luas. Skala transformasi yang bisa dilakukan antara satu kiai dengan kiai yang
lainnya berbeda. Namun substansinya adalah kiai memiliki potensi untuk
melakukan transformasi dalam kehidupan masyarakat menuju ke kondisi yang lebih
baik.
Kekuatan transformasi yang dimiliki seorang kiai bermuara
pada karakter pribadi kiai. Seseorang disebut sebagai kiai karena—antara lain—memiliki
ilmu agama yang jauh di atas pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat pada
umumnya. Keseluruhan dimensi hidupnya sarat dengan keteladanan. Ini sebagai
sumber pendidikan yang sangat tinggi (Wattimena: 2019, 164) bagi para santri
dan masyarakat pada umumnya.
Kehidupan yang berlangsung sangat dinamis sekarang ini
menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi para kiai. Kesempatan dalam makna
menjadikan perannya menjadi lebih bisa memiliki jangkauan yang luas. Lembaga
pendidikan dan berbagai fungsi institusional di pesantren bisa berkembang
secara lebih maksimal. Tantangan dalam makna bagaimana dinamika yang ada
direspon secara aktif-kreatif-konstruktif. Kemampuan memberikan respon ini yang
menjadikan kiai dan pesantren selalu eksis dalam dinamika perkembangan zaman
(Fealy dan Barton: 1999).
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pesantren di
berbagai daerah di Indonesia merupakan bukti empiris tentang bagaimana kiai dan
pesantren mampu beradaptasi secara baik dengan tantangan perkembangan zaman.
Sekarang ini banyak sekali pesantren yang maju dan berkembang pesat dengan
aneka bentuk inovasi yang ditawarkan. Namun tidak sedikit juga pesantren yang
santrinya merosot karena kurang memberikan jawaban atas dinamika yang ada (Nursyam:
2023; Naim dan Badruzaman, 2024).
Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarto (2004: 193) yang
menyebutkan bahwa ada dua kunci penting bagi kemajuan, yaitu kebudayaan dan
pendidikan. Kebudayaan menjadi basis yang mengokohkan kemajuan. Pendidikan
menjadi media untuk menumbuhkembangkan budaya kemajuan. Keduanya saling
bersinergi dan saling menguatkan.
Kiai dengan keilmuan yang dimiliki dan kepribadiannya
menjadi role model, baik bagi santri maupun masyarakat secara umum.
Persoalannya, tidak semua orang mengetahuinya. Para santri pun hanya mengetahui
fragmen tertentu saja dari keseluruhan kehidupan kiai.
Memang tidak mungkin orang bisa mengetahui seluruh
dimensi kehidupan seorang kiai. Hal paling mungkin adalah mengetahui
fragmen-fragmen tertentu saja. Meskipun demikian, pengetahuan tentang fragmen
ini juga terbatas.
Keterbatasan ini semakin nyata jika ada rentang geografis
dan rentang waktu. Pada kondisi semacam ini potensial untuk tumbuh dan
berkembang cerita yang tidak berbasis pada data. Basisnya adalah tradisi lisan.
Pada titik inilah buku yang memuat informasi tentang kiai
sangat penting. Ada sangat banyak kiai dengan berbagai keteladanan hidup yang
hanya diketahui segelintir orang. Padahal jika ditulis dan disebarluaskan,
informasi ini akan memiliki banyak sekali manfaat.
Tulisan tentang kiai, sebagaimana termuat dalam buku ini,
merupakan bentuk dokumentasi. Dalam Bahasa Shihab (2003: 15), tulisan itu ada
dimensi pemeliharaan. Jika tidak ditulis, informasi akan mudah hilang. Adanya
tulisan membuat informasi lebih awet dan bisa diwariskan antar generasi.
Tulisan juga memiliki daya jangkauan yang lebih luas.
Potensi daya jangkau semakin tidak terbatas seiring
hadirnya internet. Jika dulu buku itu hanya bisa dikonsumsi dalam edisi cetak,
sekarang ini sebuah buku tidak hanya tersaji dalam edisi cetak, tetapi juga
edisi online. Inilah yang memungkinkan tingkat ketersebarannya semakin luas.
Buku tentang kiai, secara filosofis, menegaskan potensi
ingatan. Manusia itu memiliki kapasitas mengingat yang luar biasa, namun
kapasitas lupa juga sangat besar. Sebagaimana dikatakan Wattimena (2019),
ingatan adalah unsur terpenting bagi identitas kita sebagai pribadi. Membaca bagian
demi bagian buku ini seperti mengajak kita untuk selalu mengingat dimensi baik
dari seorang kiai. Tentu tidak sebatas membaca sebagai pengetahuan tetapi
bagaimana hasil bacaan dijadikan sebagai modal untuk melakukan perubahan menuju
diri yang lebih baik.
Buku semacam ini juga bisa menjadi jendela untuk memahami Islam
Indonesia. Azra (2002: 85) menyebut Islam Indonesia sebagai Islam with a
smiling face. Sebutan ini didasarkan pada realitas bahwa Islam Indonesia
senantiasa tampil dengan sejuk, toleran, dan mengedepankan harmoni. Di antara
pendukung penilaian ini adalah kiai dan dunia pesantrennya (Isbah: 2020).
Kiai dengan aktivitas sosial keagamaannya mempengaruhi
terhadap bagaimana Islam dikonstruksi oleh masyarakat. Basis penting konstruksi
ini adalah kitab kuning. Kiai dan kitab kuning adalah dua hal yang saling
berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Aktivitas kiai mengaji kitab kuning dalam
realitasnya merupakan bentuk terbaik dalam menghadapi radikalisme (Bull: 2024,
224).
Tulungagung, 6-11-2025
Daftar Bacaan
Achmad Zaini, K.H.
Abdul Wahid Hasyim, Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Jombang:
Tebuireng, 2011).
Anton Kurnia, Mencari
Setangkai Daun Surga, Jejak Perjalanan Manusia atas Hegemoni Kuasa, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016).
Greg Fealy dan Grel
Barton (eds.), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU-Negara, (Yogyakarta:
LKiS, 1999).
Hiroko Horikhosi, Kyai
dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987).
Husein Muhammad, Islam
Tradisionalis yang Terus Bergerak: Dinamika NU, Pesantren, Tradisi, dan
Realitas Zamannya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019).
Mitsuo Nakamura, Mengamati
Islam di Indonesia 1971-2023 (Jakarta: YOI, 2025).
M. Falikul Isbah,
“Pesantren in the Changing Indonesian Context: History and Current
Development”, QIJIS, Volume 8, Number1, 2020.
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, (Jakarta:
Lentera Hati, 2003).
Ngainun Naim dan Abad
Badruzaman, Pesantren, Kampus Islam, dan Moderasi Beragama, (Tulungagung:
Akademia, 2024).
Nursyam, Integrasi
Ilmu Madzhab Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2023).
Pradjarta
Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta:
LKiS, 2013).
Reza A.A. Wattimena, Protopia
Philosophia, Berfilsafat Secara Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2019).
Ronald A. Lukens
Bull, Islam, Pendidikan, dan Masyarakat Indonesia, Pengamatan Selama 30
Tahun, (Yogyakarta: SUKA Press, 2024).

Tidak ada komentar: