Tulisan dan Teladan

November 06, 2025



Ngainun Naim

 

Ada sebuah pendapat menarik dari Mitsuo Nakamura dalam buku terbarunya, Mengamati Islam di Indonesia 1971-2023 (Jakarta: YOI, 2025, 370) yang menjelaskan bahwa Islam di Indonesia sangat unik. Keunikannya terlihat—antara lain—pada interaksi Islam dan budaya. Banyak orang luar yang tidak memahami dengan baik terhadap fenomena ini.

Jika berhadapan dengan realitas unik semacam ini maka Nakamura menyarankan untuk tidak mengambil kesimpulan sendiri. Bisa jadi kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat. Cara terbaiknya adalah berkonsultasi kepada kiai. Hal ini yang juga dilakukan oleh umat Islam Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan.

Kiai bukan sekadar ahli dalam agama Islam tetapi juga rujukan masyarakat. Aneka persoalan dalam kehidupan masyarakat dikonsultasikan kepada kiai untuk memperoleh jawaban. Meskipun sekarang media sosial menyediakan aneka pilihan konsultasi, tetapi konsultasi secara langsung terhadap kiai masih tetap dilakukan oleh masyarakat. Meskipun intensitasnya berbeda dengan masa ketika media sosial belum ada.

Peran besar kiai dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia sudah diakui oleh para ahli, peneliti, dan masyarakat umum. Peneliti asal Jepang Hiroko Horikoshi menjelaskan bahwa kiai memiliki peranan penting sebagai penjaga moral, pemimpinan sosial, dan tentu sebagai pemimpin keagamaan. Peranan yang melekat dalam diri kiai menjadi modal untuk memandu transformasi masyarakat (Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987).

Riset yang dilakukan oleh Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2013, 143 menyebutkan bahwa kiai memiliki modal sosial yang membuatnya memiliki posisi kuat di masyarakat. Identifikasi yang dilakukannya menyebutkan bahwa modal sosial tersebut adalah kekayaan, hubungan kekerabatan, ketenaran, dan kualitas pribadi.

Modal sosial keempat, kualitas pribadi, itu istimewa. Ia melampaui orang pada umumnya. Karena itu ia menjadi teladan di mana tidak banyak orang yang memiliki kualitas pribadi semacam itu.

Teladan itu untuk ditiru. Bukan sekadar  dilihat, dikagumi, dan dibicarakan.

Persoalannya, teladan tidak selalu terdokumentasikan. Padahal teladan itu tentatif. Ganti generasi, teladan hilang jika tidak diceritakan. Makin jauh generasi ditinggalkan, makin hilang teladan dari kehidupan.

Teladan itu penting untuk ditulis. Tidak hanya sebagai dokumen tetapi sebagai energi sumber transformasi. Tulisan tentang kiai dan keteladanan adalah model yang bisa menggerakkan untuk perilaku dalam kebajikan.

 

Kata Pengantar

Awal tahun 2025 saya dihubungi oleh Gus Nurul Fahmi, Ketua LTN NU Tuban. Intinya beliau meminta saya membuat kata pengantar untuk buku dengan judul Jejak Keteladanan, Profil 25 Kiai NU Tuban. Bagi saya ini merupakan sebuah kehormatan. Maka, di tengah agenda aktivitas yang lumayan padat, saya pun membuat kata pengantar. Beberapa pokok pikiran dari kata pengantar saya lampirkan di sini.

Satu dimensi penting—namun kurang mendapatkan perhatian—dari perjalanan bangsa ini adalah literasi. Tradisi literasi sesungguhnya menjadi bagian yang mempengaruhi konstruksi bangsa ini sejak awal didirikan. Para tokoh bangsa di masa awal adalah para pembaca buku yang tangguh (Kurnia: 2016, 43). Mereka bukan hanya pejuang yang mendayagunakan fisiknya tetapi juga menggunakan akalnya untuk memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemajuan bangsa.

Bung Hatta, Bung Karno, KH. Abdul Wahid Hasyim, dan para tokoh bangsa lainnya adalah pejuang dan pembaca buku yang gigih. Di tengah perjuangan panjang yang melelahkan, buku dan membaca adalah aktivitas yang tidak bisa dipisahkan. Fisik dan intelektual terus diasah tanpa jeda.

Para tokoh bangsa berasal dari berbagai latar belakang. Tidak hanya dari kalangan nasionalis saja. Ada juga dari kalangan agamawan atau kiai. Salah satunya adakah KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah tokoh penting perjalanan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan sampai beliau wafat pada 19 April 1953. Beliau kiai yang memiliki keunikan karena memiliki keberanian untuk mendobrak tradisi yang telah mapan. Banyak peneliti yang menyebut beliau sebagai pembaru pendidikan Islam karena gagasan dan kebijakannya.

Tentu ada banyak faktor yang menjadi latar belakang mengapa dan bagaimana beliau memiliki pemikiran progresif. Salah satunya karena kuatnya tradisi membaca. Zaini (2011: 14) menjelaskan bahwa Kiai Wahid Hasyim adalah seorang kutu buku. Beliau mengisi hari-harinya dengan membaca secara tekun. Tidak hanya kitab kuning tetapi juga buku-buku dari beragam bahasa. Salah satu perpustakaan di Surabaya menjadi langganan beliau dalam memenuhi dahaga ilmu pengetahuan. Kuatnya tradisi membaca membuat beliau harus berkacamata di usia yang masih muda.

Kiai Wahid Hasyim merupakan contoh tentang bagaimana menjalankan tugas pokoknya sebagai pengajar agama Islam dan juga melakukan aktivitas dalam kerangka transformasi sosial. Selain beliau, ada sangat banyak kiai yang menjadi role model bagi masyarakat. Pikiran, ucapan, dan tindakannya menjadi referensi bagi masyarakat dalam maknanya yang luas.

Sejalan dengan perspektif ini adalah pendapat KH. Husein Muhaammad (2019: 29) yang menjelaskan bahwa kiai merupakan unsur terpenting di pondok pesantren. Kiai menjadi rujukan utama seluruh dimensi pesantren. Kiai, karena itu, memiliki kekuatan untuk melakukan transformasi dalam maknanya yang luas. Skala transformasi yang bisa dilakukan antara satu kiai dengan kiai yang lainnya berbeda. Namun substansinya adalah kiai memiliki potensi untuk melakukan transformasi dalam kehidupan masyarakat menuju ke kondisi yang lebih baik.

Kekuatan transformasi yang dimiliki seorang kiai bermuara pada karakter pribadi kiai. Seseorang disebut sebagai kiai karena—antara lain—memiliki ilmu agama yang jauh di atas pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Keseluruhan dimensi hidupnya sarat dengan keteladanan. Ini sebagai sumber pendidikan yang sangat tinggi (Wattimena: 2019, 164) bagi para santri dan masyarakat pada umumnya.

Kehidupan yang berlangsung sangat dinamis sekarang ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi para kiai. Kesempatan dalam makna menjadikan perannya menjadi lebih bisa memiliki jangkauan yang luas. Lembaga pendidikan dan berbagai fungsi institusional di pesantren bisa berkembang secara lebih maksimal. Tantangan dalam makna bagaimana dinamika yang ada direspon secara aktif-kreatif-konstruktif. Kemampuan memberikan respon ini yang menjadikan kiai dan pesantren selalu eksis dalam dinamika perkembangan zaman (Fealy dan Barton: 1999).

Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pesantren di berbagai daerah di Indonesia merupakan bukti empiris tentang bagaimana kiai dan pesantren mampu beradaptasi secara baik dengan tantangan perkembangan zaman. Sekarang ini banyak sekali pesantren yang maju dan berkembang pesat dengan aneka bentuk inovasi yang ditawarkan. Namun tidak sedikit juga pesantren yang santrinya merosot karena kurang memberikan jawaban atas dinamika yang ada (Nursyam: 2023; Naim dan Badruzaman, 2024).

Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarto (2004: 193) yang menyebutkan bahwa ada dua kunci penting bagi kemajuan, yaitu kebudayaan dan pendidikan. Kebudayaan menjadi basis yang mengokohkan kemajuan. Pendidikan menjadi media untuk menumbuhkembangkan budaya kemajuan. Keduanya saling bersinergi dan saling menguatkan.

Kiai dengan keilmuan yang dimiliki dan kepribadiannya menjadi role model, baik bagi santri maupun masyarakat secara umum. Persoalannya, tidak semua orang mengetahuinya. Para santri pun hanya mengetahui fragmen tertentu saja dari keseluruhan kehidupan kiai.

Memang tidak mungkin orang bisa mengetahui seluruh dimensi kehidupan seorang kiai. Hal paling mungkin adalah mengetahui fragmen-fragmen tertentu saja. Meskipun demikian, pengetahuan tentang fragmen ini juga terbatas.

Keterbatasan ini semakin nyata jika ada rentang geografis dan rentang waktu. Pada kondisi semacam ini potensial untuk tumbuh dan berkembang cerita yang tidak berbasis pada data. Basisnya adalah tradisi lisan.

Pada titik inilah buku yang memuat informasi tentang kiai sangat penting. Ada sangat banyak kiai dengan berbagai keteladanan hidup yang hanya diketahui segelintir orang. Padahal jika ditulis dan disebarluaskan, informasi ini akan memiliki banyak sekali manfaat.

Tulisan tentang kiai, sebagaimana termuat dalam buku ini, merupakan bentuk dokumentasi. Dalam Bahasa Shihab (2003: 15), tulisan itu ada dimensi pemeliharaan. Jika tidak ditulis, informasi akan mudah hilang. Adanya tulisan membuat informasi lebih awet dan bisa diwariskan antar generasi. Tulisan juga memiliki daya jangkauan yang lebih luas.

Potensi daya jangkau semakin tidak terbatas seiring hadirnya internet. Jika dulu buku itu hanya bisa dikonsumsi dalam edisi cetak, sekarang ini sebuah buku tidak hanya tersaji dalam edisi cetak, tetapi juga edisi online. Inilah yang memungkinkan tingkat ketersebarannya semakin luas.

Buku tentang kiai, secara filosofis, menegaskan potensi ingatan. Manusia itu memiliki kapasitas mengingat yang luar biasa, namun kapasitas lupa juga sangat besar. Sebagaimana dikatakan Wattimena (2019), ingatan adalah unsur terpenting bagi identitas kita sebagai pribadi. Membaca bagian demi bagian buku ini seperti mengajak kita untuk selalu mengingat dimensi baik dari seorang kiai. Tentu tidak sebatas membaca sebagai pengetahuan tetapi bagaimana hasil bacaan dijadikan sebagai modal untuk melakukan perubahan menuju diri yang lebih baik.

Buku semacam ini juga bisa menjadi jendela untuk memahami Islam Indonesia. Azra (2002: 85) menyebut Islam Indonesia sebagai Islam with a smiling face. Sebutan ini didasarkan pada realitas bahwa Islam Indonesia senantiasa tampil dengan sejuk, toleran, dan mengedepankan harmoni. Di antara pendukung penilaian ini adalah kiai dan dunia pesantrennya (Isbah: 2020).

Kiai dengan aktivitas sosial keagamaannya mempengaruhi terhadap bagaimana Islam dikonstruksi oleh masyarakat. Basis penting konstruksi ini adalah kitab kuning. Kiai dan kitab kuning adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Aktivitas kiai mengaji kitab kuning dalam realitasnya merupakan bentuk terbaik dalam menghadapi radikalisme (Bull: 2024, 224).

 

 

Tulungagung, 6-11-2025

Daftar Bacaan

Achmad Zaini, K.H. Abdul Wahid Hasyim, Pembaru Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Jombang: Tebuireng, 2011).

Anton Kurnia, Mencari Setangkai Daun Surga, Jejak Perjalanan Manusia atas Hegemoni Kuasa, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016).

Greg Fealy dan Grel Barton (eds.), Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU-Negara, (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Hiroko Horikhosi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987).

Husein Muhammad, Islam Tradisionalis yang Terus Bergerak: Dinamika NU, Pesantren, Tradisi, dan Realitas Zamannya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019).

Mitsuo Nakamura, Mengamati Islam di Indonesia 1971-2023 (Jakarta: YOI, 2025).

M. Falikul Isbah, “Pesantren in the Changing Indonesian Context: History and Current Development”, QIJIS, Volume 8, Number1, 2020.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2003).

Ngainun Naim dan Abad Badruzaman, Pesantren, Kampus Islam, dan Moderasi Beragama, (Tulungagung: Akademia, 2024).

Nursyam, Integrasi Ilmu Madzhab Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2023).

Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2013).

Reza A.A. Wattimena, Protopia Philosophia, Berfilsafat Secara Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2019).

Ronald A. Lukens Bull, Islam, Pendidikan, dan Masyarakat Indonesia, Pengamatan Selama 30 Tahun, (Yogyakarta: SUKA Press, 2024).

Sudarto, Wacana Islam Progresif, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004).

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.