Tamasya dan Tafakur
Oleh: Ngainun Naim
Liburan di tempat
wisata pada musim liburan identik dengan kemacetan. Tidak jarang bayangan
indah liburan menjadi rusak oleh sesaknya perjalanan. Juga oleh suasana tempat
wisata yang penuh sesak pengunjung.
Umumnya tempat-tempat wisata
dimaknai sebagai tempat untuk bersenang-senang. Tempat untuk menjalani rehat
setelah lelah beraktivitas dalam jangka waktu tertentu. 
Jika tidak didudukkan
secara objektif dan baik, tamasya bukan melepas penat tetapi bisa menjadi
tambahan stres. Ini karena apa yang ada dalam bayangan tidak sejalan dengan
realitas.
Ada pemikiran menarik
dari Muhammad In’am Esha dalam buku Menuju Pemikiran Filsafat (2010:
68-70) yang menjelaskan bahwa tamasya itu dilakukan ke tempat-tempat yang indah
dan mengagumkan dalam rangka merasakan keagungan Allah. Dalam bertamasya tidak
jarang kita berpikir tentang beragam hal yang kita lihat. Semestinya dalam
tamasya ada perasaan kagum yang mendorong kita untuk berpikir secara filosofis.
Sebagian dari kita
jarang memberikan ruang untuk merenungkan apa-apa yang kita lakukan dalam
kehidupan. Padahal ruang untuk merenung itu sangat penting. Ia bisa menjadi
cermin atas apa yang kita lakukan. Ia juga bisa menjadi kompas atas perjalanan
yang akan kita tempuh.
Tamasya, misalnya,
semestinya sudah dinikmati sejak awal merencanakan sampai selesainya
perjalanan. Segalanya dinikmati dan dihayati. Ini penting agar kalau ada hal yang
tidak sesuai ekspektasi, kita tidak naik tensi.
Jika tidak disediakan
ruang untuk merenung, tujuan tamasya untuk menyegarkan pikiran tidak akan
tercapai. Justru stress yang datang menghampiri.
Trenggalek, 28 Oktober 2025
 

 
 
 
 
 
 
 
 
Hadir Prof. ...
BalasHapusNenadong Tambah Ipon Dugo Pangestu, Mugio Kawulo Pikantok Ilmu Ingkang Barokah Manfa'at...