Aceh, Kompleksitas Budaya, dan Masa Depan

Desember 01, 2025



Ngainun Naim

 

Judul Buku: Catatan Perbatasan, Tumpak dan Siluet Esai Kebudayaan Aceh

Penulis: Muhajir Al Fairusy

Penerbit: Lhee Sagoe Press Banda Aceh

Edisi: April 2025

Tebal: viii+338 halaman

 

Fenomena budaya sesungguhnya sangat kaya. Jika nalar diasah dan kepekaan dipertajam, ada banyak hal yang bisa direkam dalam tulisan. Rekaman ini bisa menjadi modal untuk dokumentasi dan mozaik yang sangat berarti.

Semua wilayah Indonesia kaya akan budaya. Tidak terkecuali dengan Aceh. Bagi orang luar Aceh, sedikit hal yang bisa diketahui tentang apa, mengapa, dan bagaimana budaya Aceh.

Ternyata budaya Aceh itu sangat kompleks. Banyak sekali pernik, ragam, dan ekspresinya.

 Lewat kecermatan pembacaan realitas dan ketajaman analisis, budaya Aceh diolah menjadi sajian tulisan yang menarik. Penulis buku ini, Dr. Muhajir Al Fairusy, adalah antropolog muda lulusan Universitas Gadjah Mada yang produktif dalam menghasilkan karya.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang sebelumnya dimuat di berbagai media. Ketika terbit diharapkan bisa dibaca secara luas sekaligus sebagai dokumen. Namun sayang beberapa tulisan lenyap karena satu dan lain hal. Dengan dibukukan diharapkan lebih terjamin sebagai dokumen.

Buku berkisah aneka hal dari budaya Aceh, mulai dari budaya ngopi, aneka potensi di berbagai wilayah, dan setumpuk persoalan yang tidak mudah diurai. Sisi menarik buku ini adalah kemampuan penulisnya untuk meramu data menjadi uraian yang tajam. Secara kritis-konstruktif penulis menawarkan solusi atas persoalan yang diangkat.

Tulisan dengan judul “Memakai Kondom: Lalu Melepas Jilbab” berkisah tentang kegelisahan penulis terhadap kebijakan pembagian kondom gratis. Kebijakan ini dinilai sebagai tidak menghormati adat, tidak menghormati agama, dan kehilangan nilai tabu membincang hal erotis di ruang publik. Perubahan memang tidak mungkin dihindari. Namun satu hal yang signifikan yaitu bagaimana menghadapi perubahan yang terus berlangsung secara dinamis. Solusinya adalah memastikan integrasi Islam dan budaya Nusantara. Nilai ketimuran yang tetap dipertahankan adalah benteng untuk melindungi perjalanan bangsa.

Bagian yang paling banyak diulas di buku ini adalah Singkil. Kejayaan Aceh masa lalu tidak bisa dilepaskan dari Singkil. Dua nama besar yang penting disebut adalah Hamzah Fansuri dan Abdurrauf as Singkili.

Sayang kejayaan Singkil tinggal cerita. Singkil kini masih berhadapan dengan aneka persoalan yang tidak mudah diurai. Banyaknya persoalan menjadikan masa depan Singkil masih sarat dengan gambaran yang belum sepenuhnya cerah.

Total ada 61 esai di buku ini. Meskipun merupakan kumpulan esai, akan lebih menarik jika dibuat bab. Misalnya, satu bab berkaitan dengan Singkil. Setelah saya cermati ada cukup banyak tulisan terkait Singkil. Bab lainnya bisa dikategorikan dalam—misalnya—Aceh secara umum.

Beberapa tulisan bahkan tidak terkait secara langsung dengan Aceh. Misalnya esai yang berjudul Yogyakarta, si ‘Kota Buku’. Meskipun, pada akhir esai ada harapan agar dunia buku di Yogyakarta juga bisa berkembang di Aceh.

Artikel dengan judul Ramadan Profetik juga tidak ada kaitannya dengan Aceh. Artikel ini mengulas tentang dimensi profetik dari menjalankan ibadah puasa. Muhajir mengeksplorasi dan melakukan kontekstualisasi gagasan Kuntowijoyo yang kemudian ditindaklanjuti oleh Heddy Shri Ahimsa Putra.

Meskipun demikian buku ini sangat penting untuk memahami Aceh dan budayanya. Memang tidak mendalam tetapi informatif. Bagi orang di luar Aceh, saya mendapatkan banyak informasi yang bermanfaat.

 

Tulungagung, 1 Desember 2025

2 komentar:

  1. uladan Pric. Ngainun sgt betmanfaat

    BalasHapus
  2. ulasan Prof. Ngainun sgt bermanfaat (ralat)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.