Aceh, Kompleksitas Budaya, dan Masa Depan
Ngainun Naim
Judul Buku: Catatan Perbatasan, Tumpak dan Siluet Esai
Kebudayaan Aceh
Penulis: Muhajir Al Fairusy
Penerbit: Lhee Sagoe Press Banda Aceh
Edisi: April 2025
Tebal: viii+338 halaman
Fenomena budaya
sesungguhnya sangat kaya. Jika nalar diasah dan kepekaan dipertajam, ada banyak
hal yang bisa direkam dalam tulisan. Rekaman ini bisa menjadi modal untuk dokumentasi dan mozaik
yang sangat berarti.
Semua wilayah
Indonesia kaya akan budaya. Tidak terkecuali dengan Aceh. Bagi orang luar Aceh,
sedikit hal yang bisa diketahui tentang apa, mengapa, dan bagaimana budaya
Aceh.
Ternyata budaya
Aceh itu sangat kompleks. Banyak sekali pernik, ragam, dan ekspresinya.
Lewat kecermatan pembacaan realitas dan
ketajaman analisis, budaya Aceh diolah menjadi sajian tulisan yang menarik.
Penulis buku ini, Dr. Muhajir Al Fairusy, adalah antropolog muda lulusan
Universitas Gadjah Mada yang produktif dalam menghasilkan karya.
Buku ini merupakan
kumpulan esai yang sebelumnya dimuat di berbagai media. Ketika terbit
diharapkan bisa dibaca secara luas sekaligus sebagai dokumen. Namun sayang
beberapa tulisan lenyap karena satu dan lain hal. Dengan
dibukukan diharapkan lebih terjamin sebagai dokumen.
Buku berkisah aneka
hal dari budaya Aceh, mulai dari budaya ngopi, aneka potensi di berbagai
wilayah, dan setumpuk persoalan yang tidak mudah diurai. Sisi menarik buku ini
adalah kemampuan penulisnya untuk meramu data menjadi uraian yang tajam. Secara
kritis-konstruktif penulis menawarkan solusi atas persoalan yang diangkat.
Tulisan dengan judul
“Memakai Kondom: Lalu Melepas Jilbab” berkisah tentang kegelisahan penulis
terhadap kebijakan pembagian kondom gratis. Kebijakan ini dinilai sebagai tidak
menghormati adat, tidak menghormati agama, dan kehilangan nilai tabu membincang
hal erotis di ruang publik. Perubahan memang tidak mungkin dihindari. Namun
satu hal yang signifikan yaitu bagaimana menghadapi perubahan yang terus
berlangsung secara dinamis. Solusinya adalah memastikan integrasi Islam dan budaya
Nusantara. Nilai ketimuran yang tetap dipertahankan adalah benteng untuk
melindungi perjalanan bangsa.
Bagian yang paling
banyak diulas di buku ini adalah Singkil. Kejayaan Aceh masa lalu tidak bisa dilepaskan dari
Singkil. Dua nama besar yang penting disebut adalah Hamzah Fansuri dan
Abdurrauf as Singkili.
Sayang kejayaan
Singkil tinggal cerita. Singkil kini masih berhadapan dengan aneka persoalan
yang tidak mudah diurai. Banyaknya persoalan menjadikan masa depan Singkil
masih sarat dengan gambaran yang belum sepenuhnya cerah.
Total ada 61 esai
di buku ini. Meskipun merupakan
kumpulan esai, akan lebih menarik jika dibuat bab. Misalnya, satu bab berkaitan
dengan Singkil. Setelah saya
cermati ada cukup banyak tulisan
terkait Singkil. Bab lainnya bisa dikategorikan dalam—misalnya—Aceh secara
umum.
Beberapa tulisan
bahkan tidak terkait secara langsung dengan Aceh. Misalnya esai yang berjudul Yogyakarta,
si ‘Kota Buku’. Meskipun, pada akhir esai ada harapan agar dunia buku di
Yogyakarta juga bisa berkembang di Aceh.
Artikel dengan judul Ramadan
Profetik juga tidak ada kaitannya dengan Aceh. Artikel ini mengulas tentang
dimensi profetik dari menjalankan ibadah puasa. Muhajir mengeksplorasi dan
melakukan kontekstualisasi gagasan Kuntowijoyo yang kemudian ditindaklanjuti
oleh Heddy Shri Ahimsa Putra.
Meskipun demikian
buku ini sangat penting untuk memahami Aceh dan budayanya. Memang tidak
mendalam tetapi informatif. Bagi orang di luar Aceh, saya mendapatkan banyak
informasi yang bermanfaat.
Tulungagung, 1 Desember 2025

uladan Pric. Ngainun sgt betmanfaat
BalasHapusulasan Prof. Ngainun sgt bermanfaat (ralat)
BalasHapus