Jika Belum Percaya Diri, Penting untuk Berkolaborasi

Juni 27, 2025

Ngainun Naim

 

Menulis itu tugas wajib dosen. Ini berlaku bagi semua dosen. Bisa dicek di UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan dari kementerian juga ada yang mengaturnya.

Tanpa membuat tulisan—buku, artikel, laporan hasil penelitian, dan sejenisnya—posisi sebagai dosen tidak akan berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena tugas dosen itu mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pada ketiga dharma ini secara intrinsik ada keharusan untuk menulis.

Mengapa harus menulis? Alasan pertama ya regulasi. Jelas sekali aturannya. Ini bukan untuk menakut-nakuti tapi ini regulasi. Kita bekerja berdasarkan regulasi.

Jika tidak menulis berarti posisi kita sebagai dosen tidak sesuai regulasi.

Kedua, karir. Tanpa tulisan, karir akan mandek. Tidak akan bisa naik pangkat karena syarat utama kenaikan pangkat adalah tulisan.

Ketiga, kualitas pembelajaran. Dosen yang menulis berpotensi menyajikan buku atau karya tulis yang bisa dikonsumsi oleh mahasiswanya. Tulisan adalah akumulasi pembelajaran personal dosen. Semakin banyak karya tulis, semakin banyak belajar.

Keempat, lembaga. Akreditasi mengharuskan adanya unsur tulisan. Semakin produktif dan bermutu tulisan yang dihasilkan, semakin naik reputasi kampus.

Tentu masih banyak lagi jawaban yang bisa diberikan. Substansinya menulis itu penting.

Tetap semangat


Persoalannya, tugas menulis itu tidak selalu mudah. Jangankan yang jarang menulis. Mereka yang sering menulis pun masih acapkali menghadapi kesulitan.

Aspek yang penting dalam konteks dosen dan menulis ini adalah mindset. Jika fokus pada kekurangan dan kesulitan, tentu sulit menghasilkan tulisan. Adanya hanya keluhan dan aneka identifikasi persoalan.

Jika ini terus dilakukan, tulisan tidak akan jadi. Jiwa semakin merana. Lama-lama semakin tersiksa.

Terkait dengan—konon—fenomena joki dan jalan-jalan pintas yang ditempuh dosen dalam menghasilkan karya tulis (Jejen Musfah: 2023), sesungguhnya itu pilihan. Tapi jika ada pilihan yang lebih bermartabat tentu sebagai insan akademis yang rasional, pilihan ini yang akan dipilih.

Memang jalan bermartabat tidak selalu mudah. Sebagaimana dikatakan Fahruddin Faiz dalam buku Filsafat kebahagiaan (Bandung: Mizan, 2023, 122), untuk mencapai kebahagiaan puncak, kita harus memadukan keutamaan.

Dalam konteks menulis, ini sangat penting dan perlu untuk digarisbawahi. Perjuangan menghasilkan karya tulis dengan jalan keutamaan akan membawa implikasi kebahagiaan. Bukan sebatas kesenangan yang sifatnya tentatif.

Aktivitas sehari-hari yang sangat teknis dan padat merayap menjadi taantangan besar dalam menghasilkan karya tulis. Jujur tidak mudah bersiasat. Namun kunci yang penting adalah semangat. Ini kunci yang utama.

Semangat terbesar berasal dari diri sendiri. Konon orang akan sukses kalau mampu menundukkan segenap tantangan. Jika ikut arus dan menuruti keadaan, tidak akan ada tulisan yang dihasilkan. “Jangan lelah untuk terus menulis”, kata Koirudin, M.Si secara provokatif.

Jangan lelah meskipun capek


Mungkin nasihat ini terasa provokatif. Mana mungkin orang tidak pernah lelah. Menunggu ketidakpastian saja lelah apalagi menunggu ide, menunggu waktu luang menulis, dan menunggu aneka faktor sampai dihasilkannya tulisan.

Tapi jika dicermati, pendapat tersebut rasional. Sebesar apa pun pemikiran tidak akan memberikan hasil besar jika sebatas disampaikan secara lisan. Kondisinya akan berbeda jika ditulis. Tentu, perpaduan lisan, tulisan, media, dan dukungan infrastruktur yang disusun secara baik akan memberikan konteks dan tujuan yang lebih cepat tercapai.

Buku itu inspirasi dalam menulis


Selain motivasi, ternyata menulis itu juga berkaitan dengan jaringan. Dalam makna yang lebih luas, jaringan itu bukan sekadar teman tetapi juga lingkungan. Jika punya jaringan yang diperbincangkan politik maka luarannya juga politik. Tapi jika temanya tulisan maka luarannya juga dalam bentuk tulisan.

Pada konteks inilah diperlukan kesamaan visi, kesadaran bersama, dan aksi integratif dalam menghasilkan karya. Di tengah merosotnya dunia literasi Indonesia (Joko Priyono: 2020) maka usaha sederhana semacam ini merupakan investasi untuk perubahan. Jika menulis sendiri masih menghadapi masalah maka menulis bersama adalah solusi. Tentu, ke depannya harus menulis mandiri.

 

Trenggalek, 27 Juni 2025

 

Bacaan

Fahruddin Faiz, Filsafat Kebahagiaan, Bandung: Mizan, 2023.

Jejen Musfah, Manajemen Mutu Pendidikan: Teori dan Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2023.

Joko Priyono, Minum Kopi dan Kerja Literasi, Yogyakarta: Among Karta, 2020.

6 komentar:

  1. Masya Allah. Prof. Ngainun Naim istikamah menjadi penggerak literasi. Semoga limpahan Rahmat Nya selalu mengalir deras pada Prof. Aamiin Yaa Robbal'alamin

    BalasHapus
  2. Luar biasa demikian besar peran menulis bagi seorang dosen, terus terang saya baru mengetahui hal ini karena saya bukan seorang dosen.
    Saya melihat Bapak sangat produktif menulis, Dari beberapa buku yang telah bapak hasilkan, sampai menulis ringan di blog. Salut Pak.
    Saya menulis di blog hanya sekadar iseng saja, tapi terprovokasi juga dengan kalimat diatas, "jangan lelah untuk terus menulis".

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungan, komentar, dan apresiasinya. Saya hanya berusaha menulis sesuai kemampuan Pak. Apa pun bentuk tulisan yang kita hasilkan, Insyaallah ada manfaatnya.

      Hapus
  3. Terimakasih hikmahnya Bapak, semoga sukses selalu dan berkah ilmunya

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.