Jika Belum Percaya Diri, Penting untuk Berkolaborasi
Ngainun Naim
Menulis itu tugas wajib dosen. Ini berlaku bagi semua dosen. Bisa
dicek di UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan UU Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan dari kementerian juga ada yang
mengaturnya.
Tanpa membuat tulisan—buku, artikel, laporan hasil
penelitian, dan sejenisnya—posisi sebagai dosen tidak akan berjalan secara
maksimal. Hal ini disebabkan karena tugas dosen itu mencakup pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pada ketiga dharma ini secara intrinsik
ada keharusan untuk menulis.
Mengapa harus menulis? Alasan pertama ya
regulasi. Jelas sekali aturannya. Ini bukan untuk menakut-nakuti tapi ini
regulasi. Kita bekerja berdasarkan regulasi.
Jika tidak menulis berarti posisi kita sebagai dosen
tidak sesuai regulasi.
Kedua, karir. Tanpa tulisan, karir akan mandek. Tidak akan bisa
naik pangkat karena syarat utama kenaikan pangkat adalah tulisan.
Ketiga, kualitas pembelajaran. Dosen yang menulis berpotensi
menyajikan buku atau karya tulis yang bisa dikonsumsi oleh mahasiswanya. Tulisan
adalah akumulasi pembelajaran personal dosen. Semakin banyak karya tulis,
semakin banyak belajar.
Keempat, lembaga. Akreditasi mengharuskan adanya unsur tulisan. Semakin
produktif dan bermutu tulisan yang dihasilkan, semakin naik reputasi kampus.
Tentu masih banyak lagi jawaban yang bisa diberikan. Substansinya
menulis itu penting.
Persoalannya, tugas menulis itu tidak selalu mudah. Jangankan
yang jarang menulis. Mereka yang sering menulis pun masih acapkali menghadapi
kesulitan.
Aspek yang penting dalam konteks dosen dan menulis ini
adalah mindset. Jika fokus pada kekurangan dan kesulitan, tentu sulit menghasilkan
tulisan. Adanya hanya keluhan dan aneka identifikasi persoalan.
Jika ini terus dilakukan, tulisan tidak akan jadi. Jiwa semakin
merana. Lama-lama semakin tersiksa.
Terkait dengan—konon—fenomena joki dan jalan-jalan pintas
yang ditempuh dosen dalam menghasilkan karya tulis (Jejen Musfah: 2023), sesungguhnya itu pilihan. Tapi jika ada pilihan yang
lebih bermartabat tentu sebagai insan akademis yang rasional, pilihan ini yang
akan dipilih.
Memang jalan bermartabat tidak selalu mudah. Sebagaimana dikatakan
Fahruddin Faiz dalam buku Filsafat kebahagiaan (Bandung: Mizan, 2023, 122),
untuk mencapai kebahagiaan puncak, kita harus memadukan keutamaan.
Dalam konteks menulis, ini sangat penting dan perlu untuk
digarisbawahi. Perjuangan menghasilkan karya tulis dengan jalan keutamaan akan
membawa implikasi kebahagiaan. Bukan sebatas kesenangan yang sifatnya tentatif.
Aktivitas sehari-hari yang sangat teknis dan padat
merayap menjadi taantangan besar dalam menghasilkan karya tulis. Jujur tidak
mudah bersiasat. Namun kunci yang penting adalah semangat. Ini kunci yang
utama.
Semangat terbesar berasal dari diri sendiri. Konon orang
akan sukses kalau mampu menundukkan segenap tantangan. Jika ikut arus dan
menuruti keadaan, tidak akan ada tulisan yang dihasilkan. “Jangan lelah untuk
terus menulis”, kata Koirudin, M.Si secara provokatif.
Tapi jika dicermati, pendapat tersebut rasional. Sebesar apa
pun pemikiran tidak akan memberikan hasil besar jika sebatas disampaikan secara
lisan. Kondisinya akan berbeda jika ditulis. Tentu, perpaduan lisan, tulisan,
media, dan dukungan infrastruktur yang disusun secara baik akan memberikan
konteks dan tujuan yang lebih cepat tercapai.
Selain motivasi, ternyata menulis itu juga berkaitan
dengan jaringan. Dalam makna yang lebih luas, jaringan itu bukan sekadar teman
tetapi juga lingkungan. Jika punya jaringan yang diperbincangkan politik maka
luarannya juga politik. Tapi jika temanya tulisan maka luarannya juga dalam
bentuk tulisan.
Pada konteks inilah diperlukan kesamaan visi, kesadaran bersama,
dan aksi integratif dalam menghasilkan karya. Di tengah merosotnya dunia
literasi Indonesia (Joko Priyono: 2020) maka usaha sederhana semacam ini merupakan
investasi untuk perubahan. Jika menulis sendiri masih menghadapi masalah maka
menulis bersama adalah solusi. Tentu, ke depannya harus menulis mandiri.
Trenggalek, 27 Juni 2025
Bacaan
Fahruddin Faiz, Filsafat Kebahagiaan, Bandung:
Mizan, 2023.
Jejen Musfah, Manajemen Mutu
Pendidikan: Teori dan Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2023.
Joko Priyono, Minum Kopi dan Kerja Literasi, Yogyakarta:
Among Karta, 2020.
Masya Allah. Prof. Ngainun Naim istikamah menjadi penggerak literasi. Semoga limpahan Rahmat Nya selalu mengalir deras pada Prof. Aamiin Yaa Robbal'alamin
BalasHapusAmin. Terima kasih atas dukungan dan doanya.
HapusLuar biasa demikian besar peran menulis bagi seorang dosen, terus terang saya baru mengetahui hal ini karena saya bukan seorang dosen.
BalasHapusSaya melihat Bapak sangat produktif menulis, Dari beberapa buku yang telah bapak hasilkan, sampai menulis ringan di blog. Salut Pak.
Saya menulis di blog hanya sekadar iseng saja, tapi terprovokasi juga dengan kalimat diatas, "jangan lelah untuk terus menulis".
Salam,
Terima kasih atas kunjungan, komentar, dan apresiasinya. Saya hanya berusaha menulis sesuai kemampuan Pak. Apa pun bentuk tulisan yang kita hasilkan, Insyaallah ada manfaatnya.
HapusTerimakasih hikmahnya Bapak, semoga sukses selalu dan berkah ilmunya
BalasHapusAmin.
Hapus